Ekosistem Esensial

EKOSISTEM GAMBUT
Luas dan Sebaran Gambut di Indonesia
Luas ekosistem gambut di Indonesia memiliki beberapa pandangan yang pada umumnya berkisar antara 13,5 – 26,5 juta ha, sedangkan beberapa nilai rataan yang digunakan adalah 20 juta ha atau 20,6 juta ha sehingga luasan tersebut mencapai 10,8% dari luas daratan Indonesia (RPI 2010, Wahyunto et al. 2006, Nurjanah 2013). Menurut Euroconsult (1984) diacu dalam KKPLGN (2006), luasan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara keempat yang memiliki ekosistem rawa gambut terluas di seluruh dunia dibandingkan Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Wibisono et al. (2005) dan KKPLGN (2006) juga menambahkan bahwa luaa gambut Indonesia mrupakan 50% dari gambut di daerah tropika.

Ekosistem gambut di Indonesia tersebar di beberapa pulau seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, dan pulau lain dengan luasan yang sangat kecil (Jawa, Sulawesi, dan halmahera) (Gambar 1). Sebaran gambut di Indonesia juga terdapat beberapa pendapat berdasarkan berbagai penelitian sehingga berdampak pada luasan gambut yang dimiliki masing-masing pulau (Tabel 1). Menurut Wahyunto et al. (2006), daerah dengan gambut terluas berada di Pulau Sumatera (35%), Kalimantan (32%), Papua (30%), dan pulau lain seperti Sulawesi (3%).

Tabel 1 Luasan sebaran gambut di Indonesia
Sumber Acuan
Sebaran Gambut ( juta ha )
Luas Total
Sumatera
Kalimantan
Papua
Pulau Lain
Driessen (1978)
9,7
6,3
0,1
-
16,1
Puslittanah (1981)
8,9
6,5
10,5
0,2
26,5
Euroconsult (1984)
6,84
4,93
5,46
-
17,2
Deptrans (1988)
8,2
6,8
4,6
0,4
20,1
Soekardi dan Hidayat (1988)
4,5
9,3
4,6
0,1
18,4
Deptrans (1990)
6,9
6,4
4,2
0,3
17,8
Subagyo et al. (1990)
6,4
5,4
3,1
-
14,9
Nugroho et al. (1992)
4,8
6,1
2,5
0,1
13,5
Radjagukguk (1993)
8,2
6,79
4,62
0,4
20,1
Dwiyono dan Rachman (1996)
7,16
4,34
8,4
0,1
20,0
Wetland International-Indonesian Programme (2005)
7,21
5,79
8,0
-
21,0
Sumber : RPI (2010)

Sumber : Subagjo (1998) diacu dalam Wahyunto et al. 2006)
Gambar 1 Peta sebaran gambut di Indonesia

Ekosistem gambut yang tersebar di Pulau Sumatera dapat ditemukan di dataran rendah sepanjang pantai timur dengan formasi penyebaran ke arah pedalaman/hulu sungai yaitu 50 – 300 km dari garis pantai. Gambut tersebut banyak tersebar di daerah Riau yang terluas serta diikuti Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan Lampung. Beberapa daerah lain yang dapat ditemukan lahan gambut di Pulau Sumatera adalah Aceh, Sumatera Barat, dan Bengkulu dengan susunan formasi di wilayah yang lebih sempit dan berada di pantai barat pulau menuju ke arah hulu sungai, yaitu 10 – 50 km dari garis pantai (Wahyunto et al. 2005 diacu dalam KKPLGN 2006).

Sebaran ekosistem gambut di Pulau Kalimantan terdapat di dataran rendah Kalimantan Tengah yang terluas serta diikuti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Sebagian besar penyebaran menuju ke arah pedalaman/hulu sungai dengan jarak 50 km dari garis pantai, sedangkan sebagian kecil tersebar di dataran tinggi bagian Barat Pulau Kalimantan terutama di Danau Sentarum (Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat). Untuk ekosistem gambut di Pulau Papua dapat ditemukan di Propinsi Papua, Irian Jaya Timur, dan Irian Jaya Barat, meskipun lebih dari 65% gambut yang terhitung merupakan gambut dengn ketebalan < 1 m (KKPLGN 2006).

Potensi dan Permasalahan Kawasan Hutan Gambut
Gambut sebagai suatu ekosistem memiliki beberapa peranan dan potensi yang penting bagi beberapa aspek kehidupan seperti konservasi keanekaragaman hayati, penyedia jasa lingkungan, sumber energi dan protein serta merupakan penyedia HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) dan HHK (Hasil Hutan Kayu).  Setiap aspek tersebut memiliki nilai turunan dari berbagai potensi yang terdapat pada ekosistem gambut seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
  • Konservasi keanekaragaman hayati
      Flora
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang berada di ekosistem gambut bernilai lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem dataran rendah lain yang tersebar di daerah tropika, namun setara dengan ekosistem kerangas maupun sub pegunungan. Apabila dibandingkan dengan keanekaragaman jenis tumbuhan di ekosistem pegunungan dan bakau (mangrove), maka keanekaragaman di ekosistem gambut lebih tinggi (Simbolon dan Mirmanto 2000 diacu dalam Wibisono et al. 2005).

Ekosistem gambut merupakan habitat bagi berbagai jenis flora Indonsia, baik yang bersifat endemik maupun yang berstatus langka dan dilindungi, bahkan bernilai ekonomis tinggi. Beberapa spesies flora yang khas dan umum ditemukan di ekosistem gambut meliputi ramin (Gonystilus bancanus), meranti (Shorea sp.), jelutung (Dyera costulata), kempas (Kompassia malaccensis), terentang (Camnosperma sp.), tumih/perepat (Combretocarpus rotundus), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), punak (Tetramerista glabra), nyatoh (Palaquium sp.), bungur (Lagerstroemia spesiosa), gelam (Mellaleuca sp.), agathis (Agathis sp.), belangeran (Shorea balangeran), geronggang (Cratoxylon arborescens), perupuk (Cococerass boornense), putat sungai (Barringtonia racemosa), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), rengas manuk (Melanorrhoea walichii), katiau (Ganua motleyana) (KKPLGN 2006, Murdiyarso et al. 2007, Wibisono et al. 2005, Rochmayanto et al. 2013).

Selain itu, tumbuhan palem juga dapat ditemukan di ekosistem gambut seperti kelubi/salak hutan (Salacca converta), palem merah (Cyrtoctachys lakka), palas (Licuala paludosa), liran (Pholidocarpus sumatranus), serdang (Livinstonia), nibung (Oncosperma tiggilarium), rotan (Callamus sp.), Khortalsia sp., dan serai hutan (Caryota mitis) (Wibisono et al. 2005). Beberapa jenis tumbuhan merambat dan tumbuhan air yang juga ditemukan di ekosistem tersebut adalah tali air (Poikilospermum suavolens), kantung semar (Nephentes mirabilis), owar (Flagellaria indica), gambir hutan (Uncaria sclerophylla), anggrek vanda (Vanda hokeeriana), (Geodorum speciosum), anggrek boki/anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum), teratai (Nyamphea sp.), kantung air kuning (Utricularia aurea), rasau (Pandanus helicopus), (Pandanus atrocarpus), dan bakung (Hanguana malayana) (Wibisono et al. 2005). Untuk tumbuhan pandan umum mendominasi di daerah sepanjang sungai.

    Fauna
Ekosistem gambut juga merupakan habitat bagi berbagai jenis fauna Indonesia yang endemik dan dilindungi. Menurut KKPLGN (2006) terdapat beberapa spesies fauna dilindungi yang berada di ekosistem gambut seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), gajah sumetera (Elephas maximus), macan dahan (Neofelis diardi), kancil (Tragulus spp.), rusa (Cervus spp.), mentok rimba (Cairina scutulata), bangau tongtong (leptoptilos javanicus), buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) (KKPLGN 2006, Rochmayanto et al. 2013, WWF-Indonesia Sebangau Project 2012). Begitu juga terdapat beberapa jenis primata yang ditemukan yaitu owa (Hylobates spp.) siamang (Symphalangus syndactilus), lutung abu (Presbytis cristata), lutung merah/kelasi (Presbytis rubicunda), orangutan (Pongo abelii, Pongo pygmaeus), dan bekantan (Nasalis larvatus) (Rochmayanto et al. 2013, WWF-Indonesia Sebangau Project 2012).
  • Jasa lingkungan
      Pengatur sistem hidrologi
Potensi ekosistem gambut dalam mengatur sistem hidrologi merupakan akibat dari sifat gambut karena memiliki daya serap air yang tinggi sehingga gambut sering digambarkan sebagaimana sifat dari spons. Akibat peranan tersebut, maka daerah yang berada di ekosistem gambut pada dasarnya akan memilki cadangan air yang melimpah selama musim kemarau maupun hujan. Oleh karena itu, keberadaan ekosistem gambut juga berperan penting dalam sarana transportasi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar daerah ini karena umumnya terdapat sungai-sungai yang berada di daerah ekosistem gambut. Selain itu, kestabilan tersedianya air tersebut berpengaruh juga terhadap tercegahnya bahaya intrusi air laut, bahkan untuk menjaga tingkat kemasaman yang diakibatkan oleh reaksi oksidasi pirit (FeS2) karena gambut yang kering dan terbuka (KKPLGN 2006). Menurut Murdiyarso et al. (2007) kemampuan gambut dalam menyimpan air adalah 0,8 – 0,9 m3/m3, bahkan apabila gambut dalam keadaan jenuh maka gambut mampu menampung air sebanyak 450% untuk jenis gambut saprik, 450 – 850% gambut hemik, dan > 850% ditampung gambut fibrik.

     Penyimpan cadangan karbon (carbon stock)
Ekosistem gambut merupakan hasil pembentukan dari berbagai bahan organik yang telah tertimbun selama beribu tahun. Salah satu bahan organik tersebut adalah unsur karbon (C) sehingga ekosistem gambut mampu menjaga keseimbangan dari siklus C yang kompleks. Siklus C yang biasa digunakan dalam hal ini adalah biomasa hutan yang saling bereaksi di berbagai tingkatan, baik bagian bawah permukaan maupun atas permukaan. Bagian bawah permukaan yang dimaksud adalah biomasa akar, materi organik tanah, seresah akar, dan biomasa mikroba yang berinteraksi satu sama lain melalui reaksi biologi maupun kimia. Begitu juga dengan yang dimaksud dengan bagian atas permukaan adalah biomasa dari berbagai tingkat vegetasi (Rochmayanto et al. 2013). Potensi gambut sebagai penyimpan cadangan karbon akan berpengaruh terhadap peranan ekosistem gambut dalam menjaga keseimbangan iklim global yang sangat dipengaruhi oleh Gas Rumah Kaca seperti CO2, N2O, dan CH4.

Gambut Indonesia memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon sebanyak 0,01 – 0,03 Gt C atau setara dengan 59 – 118 g C/m2/tahun, sedangkan akumulasi penyimpanan karbon oleh gambut di daerah sub tropis adalah 20 – 100 g C/m2/tahun sehingga gambut Indonesia mampu menyimpan lebih besar (Murdiyarso et al. 2007). Menurut KKPLGN (2006) gambut Indonesia memilki cadangan karbon sebesar 46 Gt atau setidaknya terdapat 8 – 14% kadnungan karbon dunia tersimpan di Indonesia.

  • Sumber energi/protein
Manfaat terhadap aspek ini adalah mengenai sumberdaya yang berasal dari ekosistem gambut dapat berguna bagi kehidupan masyarakat sekitar sebagai bahan konsumsi/alternatif protein. Ekosistem gambut merupakan habitat bagi berbagai jenis fauna yang umum dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi masyarakat terutama ikan air tawar yang melimpah. Selain itu, beberapa spesies seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa (Cervus spp.), kancil (Tragulus spp.), dan kijang (Muntiacus spp.) umum dimanfaatkan masyarakat sebagai alternatif pengganti sumber protein hewani yang berasal dari sapi (KKPLGN 2006). Tidak jarang di beberapa desa sekitar ekosistem gambut masyarakat mencari alternatif konsumsi berupa fauna primata seperti bekantan (Nasalis larvatus) dan orangutan (Pongo pygmaeus). Pemanfaatan lain yang dilakukan masyarakat dalam rangka memenuhi sumber energi/protein adalah buah-buahan yang tumbuh beragam di ekosistem gambut.

  • Hasil hutan kayu (HHK)
Ekosisem gambut merupakan habitat bagi berbagai jenis tumbuhan yang bernilai ekonomi tinggi. Beberapa jenis tumbuhan tersebut adalah ramin (Gonystilus bancanus), jelutung (Dyera costulata), kempas (Kompassia malaccensis), rengas (Gluta renghas), perepat (Combretocarpus rotundus), dan kelompok meranti (Shorea balangeran, Shorea uliginosa, Shorea parvifolia) (Rochmayanto et al. 2013). Selain itu, tumbuhan berjenis gelam (Mellaleuca sp.) biasa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan ringan, kerangka pembuatan bangunan gedung, dan bagan penangkap ikan.

Kondisi ini juga nilai ekosistem gambut sebagi penghasil HHK karena berdasarkan KKPLGN (2006) jenis hasil hutan HHK yang diperuntukkan untuk kayu bangunan, kayu serbaguna, dan kayu bakar memberikan kontribusi sebesar 10,49%, 0,007%, dan 12,45% dalam manfaar ekonomi serta pemanfaatan langsung. Murdiyarso et al. (2007) juga mengatakan hasil utama dari ekosistem gambut yang banyak dimanfaatkan masyarakat adalah hasil hutan berupa kayu (HHK).

  • Hasil hutan bukan kayu (HHBK)
Potensi HHBK yang dimiliki ekosistem gambu diperkirakan sangat beragam dan banyak. HHBK yang berpotensi dan sudah dimanfaatakan adalah madu hutan, getah, resin, rotan, gaharu, gemor, sundi, asam kandis, damar, bambu, tumbuhan obat, dan berbagai jenis ikan air tawar yang melimpah serta dikenal dengan istilah black fish (Rochmayanto et al. 2013). Beberapa sumberdaya ikan yang terdapat di ekosistem rawa gambut dan memiliki nilai komersial tinggi adalah gabus, toman, jelawat, tapah, betok, lele, tambakan.

Getah yang dimanfaatkan umumnya berasal dari tumbuhan berjenis jelutung (Dyera costulata), sedangkan resin dimanfaatkan dari tumbuhan berjenis agathis (Agathis sp.). HHBK berupa gaharu berasal dari tumbuhan Thymeleaceae, seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp., Gyrinops spp., dan Wiekstroemia spp. yang keluar akibat adanya reaksi dengan udara sehingga biasa dilakukan pelukaan terhadap tumbuhan.yang bersangkutan. Untuk pemanfaatan gemor dilakukan terhadap kayu gemor atau dikenal dengan nama medang lendir yang merupakan produk dari getah jenis Nothaphoebe coreacea, Nothaphoebe cf. umbelliflora, dan Alseodaphne spp. yang berasal dari keluarga Lauraceae.

Getah sundi berasal dari kayu sundi (Payeena leerii atau Madhuca leerii) dan merupakan tumbuhan dari keluarga Sapotaceae atau sawo-sawoan. Kayu ini disebut juga sundek atau balam suntai. Getah ini berwarna kuning setelah terkena udara, dimana getah tersebut serupa dengan getah perca dari jenis Palaquim gutta yang digunakan sebagai bahan isolator dan kable bawah laut, pelapis bola golf, peralatan kimia dan medis di klinik gigi, serta salah satu bahan pencampur permen karet. Selain itu, kayunya juga merupakan kayu keras untuk bahan bangunan, papan, bingkai jendela dan pintu (Boer and Ella 2001). Pohon dari kayu sundi juga menghasilkan buah sepertihalnya sawo kecik yang dapat dikonsumsi. Untuk HHBK Asam kandis dimanfaatkan dari dari tumbuhan (Garcinia parvifolia) yang merupakan jenis dari keluarga Clusiaceae atau manggis-manggisan. Buahnya dipanen sebagai bumbu dapur.


              Ancaman terhadap ekosistem gambut
Wibisono et al. (2005) menyebutkan beberapa hal yang menjadi penyebab kerusakan terhadap ekosistem gambut terdiri dari penebangan, kebakaran, pertambangan, pembuatan saluran drainase (parit/kanal). Selain itu, KKPLGN (2006) mengurutkan ancaman dan permasalahan yang terdapat di ekosistem gambut sesuai dengan skala isu yang ada, yaitu:
1.        Kebakaran hutan (81%),
2.       Kehilangan keanekaragaman hayati (81%),
3.       Drainase/pengelolaan air (71%),
4.       Pembalakan berlebih (48%),
5.       Kesulitan reforestasi (48%), dan
6.       Kurangnya kerjasama antar instansi (48%)

Selain itu, juga masalah tumpang tindih lahan sering dijumpai di beberapa lokasi seperti hutan gambut di Pulau Kalimantan terutama Kalimantan Barat. KKPLGN (2006) juga merinci permasalahan dan ancaman yang terdapat di ekosistem gambut yang meliputi keterbatasan data dan penyebaran informasi tentang lahan gambut, rusaknya sistem tata air yang ada, pertambangan, kebakaran hutan/gambut dan akibatnya terhadap pencemaran udara, penebangan liar, penurunan kualitas habitat dan keanekaragaman hayati, masih rendahnya bimbingan pemerintah kepada masyarakat dalam mengelola lahan gambut secara bijaksana, kebijakan yang secara khusus mengatur gambut masih minim, belum adanya lembaga yang diberi wewenang dan tanggung jawab dalam mengelola dan menangani masalah gambut, keterbatasan pengetahuan mengenai pengelolaan lahan gambut, konflik dan tumpang tindih kebijakan, isu mengenai definisi, kendala pemahaman, kendala sarana dan prasarana, kurangnya informasi mengenai produk unggulan, kendala hama, program transmigrasi, kendala akibat sifat biofisik lahan, kurangnya informasi akan nilai menyeluruh dari ekosistem lahan gambut.

Karakteristik Ekosistem Gambut
Gambut Indonesia umumnya berada di lahan rawa atau dengan kata lain wilayah yang berada di peralihan antara ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Ekosistem gambut dicirikan keadaan yang selalu jenuh air atau tergenang air (waterlogged) karena tanah gambut menempati cekungan, depresi maupun bagian terendah di lembah-lembah. Hamparan gambut yang luas umumnya menempati depresi-depresi yang terdapat di antara sungai-sungai besar dekat muara (hilir) sehingga gerakan pasang surut air laut tampak dalam waktu harian. Formasi dataran dan kubah gambut juga umumnya terbentang pada cekungan luas di antara sungai-sungai besar dari dataran pantai menuju hulu sungai dan bentuk formasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
(sumber : KKPLGN 2006)
Gambar 2 Sketsa melintang formasi ekosistem gambut

Salah satu batasan tanah gambut yang sederhana adalah ketebalan gambut lebih dari 0,5 m. Tanah gambut sering disebut juga sebagai tanah histosol dalam taksonomi tanah. Menurut taksonomi tanah bahwa gambut mempunyai ciri sebagai berikut :
  1. Harus tersusun dari bahan organik
  2. Jenuh air selama 1 bulan atau lebih dalam tiap tahun
  3. Ketebalan minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tngkat dekomposisi bahan gambut dan bobot jenisnya.
Berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, maka gambut dapat dibedakan atas gambut lumutan, gambut seratan, dan gambut kayuan. Sebagian besar lahan gambut tropik di Indonesia merupakan jenis gambut kayuan dan sebagian kecilnya gambut seratan. Gambut yang berasal dari kayuan tergolong oligotrofik/mesotrofik, sedangkan gambut seratan tergolong eutrofik (Ardi 2006).
  1. Gambut lumutan (sedimentairy/moss peat) : gambur yang terdiri atas campuran tanaman air (famili Lilicae) termasuk plankton dan sejenisnya
  2. Gambut seratan (fibrous/sedge peat) : gambut yang terdiri atas campuran serat tanaman sphagnum dan rumputan.
  3. Gambut kayuan (woody peat) : gambut yang tersusun atas pohon-pohonan (hutan tiang) beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi 3 golongan yaitu gambut eutrofk, mesotrofik, dan oligotrofik. Gambut eutrofik termasuk gambut subur karena bahan asalnya merupakan serat-seratan atau yang memperoleh perkayaan hara mineral secara alami dari lingkungannya. Gambut oligotrofik termasuk gambut yang miskin hara dan umumnya mempunyai ketebalan > 2m. Gambut tersebut hanya memperoleh sumbangan hara dari hujan dan perombakan bahan organik setempat (Ardi 2006).
  1. Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung baan mineral terutama kalsium karbonat. Sebagian besar berada di daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkalin.
  2. Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengadung sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium serta bersifat masam atau sangat asam (pH<4).
  3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara dua golongan sebelumnya.
Menurut wilayah iklim, gambut dapat dibedakan antara gambut tropik dan gambut beriklim sedang (temprate). Gambut tropik umumnya mempunyai tingkat keasaman yang lebih tinggi (pH 4 – 5) dibandingkan dengan gambut iklim sedang yang mempunyai kandungan mineral kapur cukup tinggi.sehingga tingkat keasaman rendah (pH 6 – 7). Bahan penyusun gambut iklim sedang umumnya berupa tumbuhan lumut atau sphagnum. Hal lain yang membedakan adalah curah hujan yang tinggi, evapotranspirasi yang tinggi, suhu rata-rata tahunan yang tinggi dan bahan asal sebagian besar terdiri dari vegetasi kayu-kayuan (Ardi 2006).

Berdasarkan proses pembentukannya, gambut dapat dibedakan atas gambut ombrogen dan topogen. Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah hujan. Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi (cekungan) dan air tanah. Gambut ombrogen tergolong kurang subur karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Selain itu, karena pengaruh  pasang surut air laut atau sungai yang tidak mencapai wilayah ini, maka kondisi lahan miskin hara. Gambut jenis ini biasanya berada di tengah-tengah kawasan atau sekitar kubah. Gambut jenis ini termasuk gambut yang berada di kawasan rawa lebak atau rawa pedalaman dan rawa pasang surut yang tidak mendapatkan luapan pasang (tipe D). Gambut ini juga digolongkan sebagai gambut oligotrofik dan sebagian mesotrofik yang luasnya di Indonesia mencapai 4,46 juta hektar dengan ketebalan >2m (Euroconsult 1984 diacu dalam Noor 2001). Gambut jenis ini terdapat terutama di sepanjang pantai Kalimantan dan pantai selatan Papua.

Gambut topogen yang berada di kawasan tropik mempunyai kesuburan yang relatif lebih baik. Jenis gambut ini disebut juga sebagai gambut eutrofik. Gambut topogen tersebar di lahan rawa pasang surut yang umumnya terluapi oleh pasang, baik secara langsung maupun tak langsung (tipe luapan BB atau tipe luapan B/C). Selain itu, gambut topogen juga ditemukan di daerah pegunungan tinggi.

Menurut lingkungan pembentukannya atau fisiografi, maka gambut dapat dibedakan menjadi gambut cekungan, gambut sungai, gambut dataran tinggi, dan gambut pesisir/pantai (Noor 2001).
  1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk di daerah cekungan, lembah sungai, atau rawa bukit (backswamp).
  2. Gambut sungai (river peat) adalah gambut yang terbentu di sepanjang sungai yang masuk ke daerah lembah kurang dari 1 km, misalnya di sepanjang sungai Barito, Sungai Kapuas, dan Sungai Mentangai di Kalimantan
  3. Gambut dataran tinggi (highland peat) adalah gambut yang terbentuk di punggung-punggung bukit/pegunungan, misalnya di Pegunungan Tigi (Papua) dan Pegunungan Dieng (Jawa Tengah).
  4. Gambut dataran pesisir/pantai (coastal peat) adalah gambut yang terbentuk di sepanjang garis pantai.
Berdasarkan sifat kematangannya, gambut dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu gambut fibrik, gambut hemik, dan gambut saprik (Noor 2001).
  1. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah dengan cirinya berupa tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam dan diameter antara 0,15 mm hingga 2 cm.
  2. Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang.
  3. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang.
Selain itu, gambut juga dapat dikelompokkan berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya, yaitu gambut dangkal, tengahan, dalam, dan sangat dalam. Pada kelas gambut dangkal dan sedang seringkali mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral dan biasanya lapisan kedua gambut tersebut merupakan gambut topogen yang relatif subur (bersifat eutrofik). Sementara untuk kedua kelas gambut dalam umumnya bila semakin menuju ke bagian tengah depresi. Oleh karena, semakin dalam gambut sehingga kesuburan bahan gambut semakin menurun. Jenis gambut yang dalam ini sering disebut gambut ombrogen dengan tingkat kesuburan sedang (bersifat mesotrofik) sampai rendah (bersifat oligotrofik) (Noor 2001).
  1. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50 – 100 cm.
  2. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100 – 200 cm.
  3. Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200 – 300 cm.
  4. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik > 300 cm.


Sumber Referensi :
Ardi S D, Kurnia U, Mamat HS, Hartatik W, Setyorini D. 2006. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Nurjanah S, Octavia D, Kusumadewi F. 2013. Identifikasi Lokasi Penanaman Kembali Ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di Hutan Rawa Gambut Sumatera dan Kalimantan. Bogor : FORDA Press.
[RPI] Rencana Penelitian Integratif. 2010. Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Jakarta : FORDA Puslibang Kehutanan.
Boer E and Ella AB. 2001. Plants Producing Exudate. Plant Resources of South-East Asia no. 18. Bogor, Indonesia.
[KKPLGN] Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional. 2006. Strategi dan Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Jakarta : Departemen Dalam Negeri.
Rochmayanto Y, Darusman D, Rusolono T. 2013. Hutan Rawa Gambut dan HTI PULP dalam Bingkai REDD+. Bogor : FORDA Press.
Wahyunto, Suparto, Bambang H, Bhekti H. 2006. Sebaran Lahan Gambut, luas, dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan di Papua. Bogor : Wetlands-International.
[WIIP] Wetlands International-Indonesia Programme. 2007. Gambut dan kandungan karbon. Warta Konservasi Lahan Basah vol 15 (2): 10 – 11.
Wibisono ITC, Siboro L, Suryadiputra I Nyoman N. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor : Wetlands International-Indonesia Programme.
WWF-Indonesia Sebangau Project. 2012. Rewetting of tropical peat swamp forest in Sebangau National Park, Central Kalimantan, Indonesia. Project Design Document for Validation under the Climate, Community and Biodiversity Project Design Standards Second Edition. Palangka Raya (ID): WWF-Germany, Sebangau National Park Office, Winrock International, and Remote Sensing Solutions GmbH.


Comments

Popular Posts