Suku Barbar

Suku Barbar yang terus hidup hingga Kini
(Zaman Modern ini)
Ketika kita mendengar kata “Barbaria”, sudah tentu yang akan pertama kali teringat dan terkenang adalah “suku barbar”. Suku Barbar lebih dikenal sebagai kelompok masyarakat yang memiliki peradaban yang baik, bahkan bisa dikatakan tidak memiliki peradaban. Selain itu, istilah “barbar” sangat kental dengan sifat kekerasan, kebodohan, dan tidak teratur (bebas), bahkan seluruh suku-suku (suku arya, Vandal, Mongol, dan lainnya) yang memiliki sifat-sifat tersebut dapat disebut sebagai “suku barbar” (apakabardunia 2012, vandalismeintelektual 2009, dan Feisal 2014). Istilah “barbar” mulai dikenal ketika berakhirnya masa kejayaan kekaisaran romawi di Eropa (Sholihin dkk. 2010 dan Rumah Bangsa Foundation 2014). Secara etimologi “barbar” berarti orang yang bebas (free man), diambil dari kata “Amazigh” yang merupakan sebutan yang biasa orang-orang barbar sendiri gunakan. Apabila ditinjau lebih mendalam dari berbagai aspek dan sudut pandang akan ada hal-hal yang baik dan buruk dari sejarah “Suku Barbar” tersebut.
Istilah “barbar” mungkin bermula dari kisah seorang intelektual muda yang pintar dan rajin ketika di masa Bani Israel. Pemuda itu bernama “Barbaria”. Begitu banyak penemuan-penemuan yang dia kenalkan di masa itu dan dengan penemuan itulah dia menjadi terpandang di segala penjuru negeri. Dirinya begitu terkenal, terhomat, bahkan ia adalah seseorang yang kaya. Tetapi, semua harta dan kehormatan itulah yang sebenarnya menjadi tujuan kepintaran dirinya. Bahkan, demi tujuannya itu beragam penemuan yang dirinya ciptakan untuk masyarakat lebih bersifat menyimpang dan aneh. Keadaan itu terus-menerus ia lakukan hingga usianya sudah tidak lagi muda.
Ketika di usianya yang tak lagi muda, dirinya tersadar bahwa yang selama ini dilakukannya adaah suatu kesalahan yang begitu besar. Kemudian bersegeralah dirinya bertaubat kepada Tuhan (Allah SWT), namun akhir kisahnya begitu tragis karena taubatnya hanya sampai kepada Zat yang Maha Esa, tidak sampai kepada seluruh masyarakat yang telah disesati oleh kepintarannya selama ini. Kisah ini turut menurunkan wahyu-Nya melalui seorang Nabi dari bangsa Israel tersebut yang berbunyi, “Sesungguhnya jika kamu melakukan suatu dosa antara Aku dengan dirimu, tentu Aku akan menerima taubatmu, apapun dosa itu. Tapi bagaimana dengan orang yang kau sesatkan dari hamba-hamba-Ku, lalu Aku masukkan mereka ke dalam neraka setelah meninggal dunia?”
Jika dilihat pada masa kini, begitu banyak intelektual yang telah terlahir. Jika ingin kau cari mereka, maka di segala penjuru dunia, bahkan hingga di seluruh pelosok nusantara ini kita akan menemui dan mengenal mereka. Muda maupun yang berpengalaman, para intelektual sudah banyak terlahir. Pertanyaan dasarnya adalah apakah kita sudah berbeda dengan intelektual muda “Barbaria” yang sudah dikisahkan pada bagian sebelumnya? Mungkin ini hanyalah kisah dari “seorang Barbaria”, lalu bagaimana dengan banyaknya orang atau sekelompok masyarakat melakukan hal yang sama dengan “seorang Barbaria”. Istilah suku sebenarnya hanya sebagai pengganti dari kata jamak kelompok sehingga bisa dikatakan bahwa mereka adalah “Suku Barbaria” yang terlahir kembali atau yang terus hidup di masa modern ini.
Kisahnya memberikan pesan yang begitu mendalam kepada kita bahwa “jangan sampai kita terlambat memahami...”. Seseorang tahu belum tentu ia mengerti, jika sudah mengerti tentu ia paham, paham berarti kita menghayatinya, dengan menghayati maka kita berilmu atau memiliki keahlian sehingga pikiran ini akan melahirkan penerang bagi jiwa dan sukma kita (Zairofi 2006).

Oleh karena itu, mari kita menjadi intelektual yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Mari menjadi intelektual politik yang membangun bangsa dan rakyatnya dengan kebijakan yang dilahirkannya. intelektual hukum dan keamanan yang mampu menegakkan keadilan beserta menjaga keamanan di negeri ini. Intelektual alam yang mampu mengelola sumberdaya ini untuk masyarakat dan banga ini. Intelektual kesehatan yang mampu melayani sakitnya masyarakat. Intelektual pasar yang mampu adil bagi para pembeli dan penjualnya. Intelektual keluarga yang mampu mengayomi dan menyayangi anaknya, orangtuanya, dan saudaranya. Serta tak lupa jua bagi calon intelektual bangsa ini (mahasiswa dan pelajar) yang segera menyiapkan dirinya untuk menjadi penerus dan generasi yang baik.

Comments

Popular Posts